KAJIAN AQIDAH DAN AKHLAQ (Ke-4)

Dari: M. Muhtar Arifin Sholeh <muhtaras64@yahoo.co.id>
Topik: [MS_UK] KAJIAN AQIDAH DAN AKHLAQ (Ke-4)
Kepada: MS_UK@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 26 Februari, 2009, 6:15 PM

KAJIAN AQIDAH DAN AKHLAQ (Ke-4)

( Kamis, 26 Pebruari 2009 )

A’uudzubillaahi minash-shaithaanir- rajiim

Bismillaahirrahmaan irrahiim

BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH

Konsekuensi dari tauhid uluuhiyah adalah keyakinan bahwa tidak ada yang menentukan hukum kecuali Allah (لا حاكم الا الله). Maksudnya, hanya Allah sajalah yang berhak menentukan hukum atau aturan untuk kemaslahatan hidup manusia. Manusia diperbolehkan membuat hukum atau aturan tetapi harus sesuai (senada/seirama) dengan hukum Allah. Hukum manusia tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah. Dalam surat al-Maidah ditegaskan bahwa orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah, maka dia digolongkan orang kafir (ayat 44, karena mengingkari hukum Allah) dan dholim serta fasik (ayat 45 & 47, karena berhukum mengikuti hawa nafsu dan merugikan orang lain). Pada ayat 50 ditegaskan juga, ” Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Afahukmul-jaahiliyy ati yabghuun, wa man ahsanu minallaahi hukmal-liqaumiy- yuqinuun)

Konsekuensi yang lain ialah keyakinan bahwa tidak ada yang mencipta kecuali Allah (لا خالق الا الله). Artinya, hanya Allah sajalah yang menciptakan alam semesta berserta seluruh isinya, hanya Allah sajalah sebagai sumber dan pemilik kreasi (kemampuan membuat), dan hanya Allah sajalah yang menciptakan anggota tubuh untuk berkreasi (misalnya tangan untuk berkreasi menulis, memotong, membawa, dsb; otak untuk berkreasi berpikir/menganalis is, dsb). Jika manusia mampu berkreasi membuat rumah, jembatan, pesawat, mobil, baju, dsb-dsb, maka sesungguhnya kemampuan berkreasi itu milik Allah yang dipinjamkan atau dititipkan kepada manusia sebagai amanah yang harus dipertanggung- jawabkan di dunia (kepada masyarakat, atasan, orang tua, dsb.) dan di akhirat (kepada Allah).

Konsekuensi yang lain adalah keyakinan bahwa tidak ada yang memimpin kecuali Allah (لا ولي الا الله). Maksudnya, hanya Allah sajalah yang sesungguhnya memimpin (mengarahkan, melindungi, membina, menolong) ummat manusia. Rasulullah (karena utusan Allah) dan orang-orang beriman (karena iman kepada Allah) juga dibenarkan mempimpin manusia. Allah berfirman, yang artinya, ” Sesungguhnya penolong (pemimpin/wali) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (QS al-Maidah 5:55). Ayat tersebut ditegaskan kembali pada ayat 30-32 surat Fushilaat (Haa Miim as-Sajadah), yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindung mu (walimu) dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keyakinan yang dalam bahwa hanya Allah sajalah sebagai Pemberi Rizqi, Pembuat hukum, Pencipta, dan Pemimpin mengharuskan manusia untuk bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Kata ’tawakkal’ secara etimologis berarti ’mewakilkan’. Secara etimolis tawakkal berarti ”sikap menyerahkan sepenuhnya kepada Allah semata (’mewakilkan’ kepada Allah saja) segala urusan hidupnya seperti urusan ekonomi, pendidikan, kesehatan, jodoh, dsb-dsb. Hal ini tidak berarti bahwa manusia hanya berdiram diri seperti ’robot’, tetapi manusia harus tetap berikhtiar mengikuti sunnatullah, misalnya, jika ingin lulus ujian (sukses pendidian) maka harus belajar yang rajin, jika ingin kecukupan sandang-pangan- papan (suskses ekonomi) maka harus berusaha bekerja keras, dan jika ingin tetap sehat (sukses kesehatan) maka harus berikhtiar menjaga makanan-minuman (agar halalan-thayyiban) dan berolahraga. Ikhtiar manusia dengan sungguh-sungguh adalah bagian dari cara manusia bertawakkal kepada Allah, karena Dia menciptakan tubuh manusia untuk digunakan (digerakkan) bukan didiamkan seperti ’robot’. Setelah berusaha keras atau mengambil keputusan, manusia harus bertawakkal kepada Allah saja (faidzaa ’azamta fatawakkal ’ala Allah).

Manusia dilarang bertawakkal kepada ilmunya, ketrampilannya, kemampuannya, dan juga kepada orang lain. Manusia dapat ’mewakilkan’ sesuatu kepada orang lain asalkan dia (yang mewakili) mengikuti ajaran Allah tentang amanah, kejujuran, keadilan, kemaslahatan, dan tanggung jawab. Manusia bertawakkal hanya kepada Allah; dilarang bertawakkal kepada ilmu (karena Allah-lah pemilik dan sumber ilmu), kepada ketrampilan dan kemampuan (karena Allah-lah pemilik dan sumber ketrampilan dan kemampuan), kepada manusia lain (karena Allah-lah Sang Pencipta manusia), dan juga dilarang bertawakkal kepada simbah dukun (karena Allah-lah yang membuat simbah dukun itu hidup). Dalam ayat disebutkan, wa kafaa billaahi wakiilaan (dan cukuplah Allah sebagai ’tempat’ bertawakkal) , wa ’ala Allah falyatakkalil- mu’miniin (dan kepada Allah sajalah orang-orang iman bertawakkal) .

Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui (Mewaspadai) dosa-dosa hamba-hamba- Nya (QS al-Furqaan 25:58).

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS ath-Thalaaq 65:2-3)

Wallaahu a’lam bish-shawwab,

Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Pengasuh Kajian :

Muhammad Muhtar Arifin Sholeh

Dosen di UNISSULA Semarang

Ph.D Student di Department of Information Studies,

University of Sheffield UK