Gempa yang Mengintai Kita
VIVAnews – Masih lekat dalam ingatan Safarudin, saat Jakarta diguncang gempa tahun lalu. Rabu, 2 September 2009, pukul 14.55 wib, tukang ojek 27 tahun yang biasa mangkal di dekat Wisma Nusantara itu terhenyak, ketika bumi yang dipijaknya bergoyang keras.
“Kreeek…kreeek,” bunyi itu terdengar dari atas, begitu keras di tengah deru kendaraan yang lalu-lalang di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, yang mulai memadat. Safar menengadah ke langit, gedung-gedung jangkung di sekelilingnya terlihat berayun-ayun seolah-olah hendak rubuh menimpanya.
Belum selesai ia mencerna apa yang tengah terjadi, sekonyong-konyong orang-orang dari dalam gedung Wisma Nusantara terbirit-birit berhamburan keluar gedung. “Gempa… gempa..” Tanpa pikir panjang lagi, Safar melompat ke motornya. Ia pacu gas sekencang-kencangnya menyusuri Jl Sutan Syahrir, menjauh dari rimba pencakar langit di pusat kota itu.
Tak jauh dari situ, Sianto Wongjoyo, salah seorang Manajer di Dell Indonesia masih ‘terperangkap’ di kantornya yang berada lantai atas Menara BCA Grand Indonesia Jakarta. Kantor Dell yang baru setahun pindah ke gedung itu, memang terletak lumayan tinggi, yakni di Lantai 48 dari 57 lantai yang ada.
Saat kantornya mulai bergoyang, Sianto tengah rapat. Biasanya ia tak terlalu sensitif terhadap gempa. Namun kali itu guncangan gempa cukup besar untuk menyadarkannya. Lantai bergoyang, kaca-kaca kantor bergetar, dinding-dinding berderak. “Kali ini harus saya akui, benar-benar hebat guncangannya,” Sianto menggambarkan.
Dengan sigap, petugas keamanan memandu para karyawan berkumpul di lorong lift. Dalam hati, Sianto tak lepas berdoa. Menunggu cemas, hingga akhirnya gempa berhenti. Sesaat kemudian, semua dievakuasi keluar gedung, menyusuri anak tangga satu persatu. Jarak 48 lantai memang cukup membuat lutut sedikit linu. “Lumayan capek sih.” Di bawah, ribuan pengunjung dan karyawan yang berkantor di Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Wisma Nusantara, Hotel Nikko, sudah menyemut.
Jangan lupa, Jakarta juga masih punya sekitar 1400 gedung tinggi lainnya. Praktis, aktivitas perkantoran di banyak tempat di Jakarta lumpuh sesaat. Padahal, episentrum gempa saat itu berada di perairan selatan Jawa antara Sukabumi dan Bandung, atau tepatnya di koordinat 7,809 derajat Lintang Selatan dan 107,259 derajat Bujur Timur.
Di Jawa Barat Gempa berkekuatan 7,3 SR itu merenggut setidaknya 79 nyawa, 21 korban hilang, 63.717 rumah rusak berat, dengan perkiraan kerugian lebih dari Rp 300 miliar. Sementara di Jakarta, tak ada korban jiwa dan kerusakan yang berarti. Hanya saja, beberapa gedung mengalami keretakan di sana sini. Setidaknya peristiwa itu mengingatkan semua bahwa Jakarta bukan tempat aman dari ancaman gempa.
Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Profesor Riset Hery Harjono, secara umum wilayah Jakarta memiliki formasi geologi berusia muda. Lapisan paling atas umumnya berupa tanah lunak yang terdiri dari lempung dan lempung pasiran yang berasal dari endapan pantai dan endapan akibat banjir yang berasal dari periode holosen akhir (berusia sekitar 12 ribu tahun).
Kemudian, di bawahnya terdapat endapan aluvial volkanik yang berasal dari pleistosen akhir (berusia lebih dari 12 ribu tahun). Di bawahnya terdapat endapan marine dan non-marine berumur Pleistosen Awal (sekitar 2.588 juta tahun). Di bagian paling bawah terdapat batuan berumur tersier (1,8 juta – 6,5 juta tahun).
Ir Engkon K Kertapati, peneliti pada Pusat Survei Geologi – Badan Geologi, mengatakan bahwa Jakarta berada di atas tanah yang sangat lemah dan rentan terhadap guncangan gempa. Secara geologi, Jakarta terbagi dua wilayah; Jakarta bagian utara di mana permukaan tanahnya merupakan tanah lunak berusia holosen, dan Jakarta bagian selatan yang lapisan tanahnya relatif lebih padat dan berusia lebih tua (pleistosen).
Bila gempa kuat terjadi, wilayah Jakarta utara paling rawan mengalami proses likuifaksi alias amblasnya permukaan tanah karena perubahan sifat tanah dari padat menjadi air karena gempa. Selain itu, sifat tanah di wilayah utara itu juga akan merambatkan getaran gempa sehingga mengalami amplifikasi atau perbesaran guncangan terhadap gedung-gedung di atasnya.
Menurut Engkon, ini yang membuat Jakarta juga turut merasakan guncangan gempa Tasikmalaya yang pusatnya berjarak hampir dua ratus km dari Jakarta. Saat itu, wilayah Utara Jakarta mengalami amplifikasi gempa hingga 2 kali, sementara wilayah selatan Jakarta mengalami amplifikasi gempa sebesar 1,5 kali.
Oleh karenanya, ahli Gempa LIPI Dr Danny Hilman Natawidjaya mengatakan bila gempa Tasik bermagnitudo lebih besar, misalnya lebih dari 8SR, maka gempa itu bisa memporakporandakan Jakarta. “Ini bisa mematikan, seperti kejadian gempa di Meksiko tahun 1985,” kata Danny. Saat itu, ia menjelaskan, sumber gempa berjarak lebih dari 300 km. Namun, dengan kekuatan gempa sebesar 8,1 SR, gempa itu meratakan kota Mexico City.
Badan survei geologi AS, USGS, menyebutkan, setidaknya 9.500 orang tewas, 30 ribu orang terluka, lebih dari 100 ribu orang menggelandang karena rumah mereka hancur, 412 bangunan tumbang dan 3.124 bangunan lainnya rusak di Mexico City, dengan jumlah kerugian mencapai US$ 3 – 4 miliar. 60 persen dari bangunan-bangunan di daerah lain seperti Ciudad Guzman, Jalisco juga musnah.
Dari catatan Prof Masyhur Irsyam, pakar teknik sipil ITB yang juga kepala tim revisi Peta Gempa Indonesia 2010, pusat gempa Meksiko terjadi di bawah garis pantai Pasifik Meksiko. Episentrumnya berjarak 380 km dari Mexico City.
Lalu kenapa jarak pusat gempa yang begitu jauh tetap bisa mengoyak bangunan-bangunan di Mexico City? Ternyata kota itu berdiri di atas endapan lempung vulkanik yang berusia kurang dari 2.500 tahun. Ini menyebabkan getaran gempa di permukaan tanah bisa mengalami amplifikasi antara 4-5 kali, dan amplifikasi gempa pada bangunan bisa mencapai 21 kali lipat dari getaran di batuan dasar.
Di Jakarta sendiri, gedung-gedung yang dibangun, musti memenuhi standar tahan gempa hingga 8 Skala Richter. Menurut Hermawan Sarwono, Direktur Utama perusahaan kontraktor umum PT Insani Daya Kreasi, gedung-gedung di Jakarta yang dibangun pasca 1989 sudah harus memenuhi persyaratan struktur gedung dan kinerja struktur gedung sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 1989.
“Bahkan, standarisasi pembangunan gedung pada 2002, ditingkatkan lagi melalui SNI 03-1726-2002 yang jauh lebih ketat dari standar SNI 1989,” kata Hermawan lagi. Namun, kata Masyhur, ada beberapa tahapan yang perlu dilewati dalam sebuah perencanaan bangunan di Jakarta agar tahan gempa.
Pertama, harus diketahui goyangan atau percepatan di batuan dasar. Angka ini bisa diperoleh dari Peta Gempa Indonesia 2010, di mana percepatan di batuan dasar (Peak Base Acceleration/ PBA) Jakarta adalah 0.19 g (g = gravitasi bumi = 981 cm per detik kuadrat) untuk 10 persen kemungkinan terjadinya dalam 50 tahun dan untuk perioda ulang gempabumi 475 tahunan.
Setelah itu, perlu diketahui pula percepatan di permukaan tanah dengan menghitung efek kondisi tanah setempat, misalnya apakah tanah lunak atau tanah keras. Untuk Jakarta, goyangan di batuan dasarnya bisa saja sama, namun goyangan di permukaan tanah Jakarta Utara dan Jakarta Selatan berbeda, karena perbedaan tanahnya.
Yang terakhir, perlu diperhitungkan goyangan di bangunannya sendiri, yang didasarkan pada perilaku bangunan tersebut. “Dengan mengetahui goyangan pada bangunan, maka dapat dihitung besarnya gaya gempa pada bangunan,” kata Masyhur.
Padahal, hingga kini Jakarta masih belum memiliki peta mikrozonasi gempa, yang bisa secara lengkap menyediakan informasi peta kelabilan tanah, termasuk angka percepatan/ goyangan di permukaan tanah di masing-masing wilayah Jakarta. “Sayangnya di Jakarta kita tidak punya,” kata Masyhur.
Padahal, Jakarta diintai oleh beberapa sesar aktif yang siap ‘menyuplai’ getaran gempa yang bisa sampai ke wilayah Jakarta. Di antaranya adalah Sesar Cimandiri dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan kecepatan pergerakan tanah 4 mm per tahun, sesar Lembang dengan magnitudo gempa 6,5 SR dan kecepatan pergerakan tanah 1,5 mm per tahun, dan Sesar Sunda dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan kecepatan pergerakan tanah 5 mm per tahun.
Belum lagi rumor adanya sesar purba bernama Sesar Ciputat yang konon terbujur dari Ciputat hingga ke daerah Kota. Danny Hilman mencurigai keberadaan sesar ini dari keberadaan sumber mata air panas di sekitar Gedung Arsip Nasional. Meski patahan aktif Jakarta belum terdeteksi, kata Danny, sejarah mencatat gempa besar pernah meluluhlantakkan Jakarta yaitu gempa yang terjadi pada 1699 dan 1852.
Namun, tak semua setuju dengan indikasi keberadaan sesar di Jakarta. “Secara pribadi saya katakan Sesar Ciputat tidak ada,” kata Engkon. Sebab, Jakarta tak memiliki sumber gempa dangkal yang merupakan indikasi dari kegiatan sesar. Namun, Engkon sepakat dengan Danny mengenai kejadian gempa 1699 yang sempat mengguncang Jakarta.
Gempa tahun 1699, kata Engkon berpusat di selatan Gunung Gede, yang menyebabkan terjadinya kerusakan bangunan dan kerusakan parah di sekitar Hanjawar, Puncak. Sir Thomas Stamford Raffles juga mencatat dalam bukunya History of Java, “Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan tak sehat, kian parah.”
Menurut buku Encyclopedy of World Geography, gempa ini juga menyebabkan Sungai Ciliwung tertutup oleh longsor lumpur, dan pohon-pohon yang bertumbangan, sehingga terjadi banjir di banyak tempat. Tak sampai seabad kemudian, gempa kembali melanda Jakarta pada 1780.
Sebuah Buku berjudul Transits of Venus: New Views of the Solar System and Galaxy mencatat bahwa Observatorium Mohr yang terletak di Batavia, adalah observatorium yang sukses melaporkan beberapa kejadian Transit of Venus (kondisi saat Matahari Venus dan bumi dalam satu garis). Namun, observatorium tersebut hancur akibat gempa tahun 1780.
Pada 27 Agustus 1883, Jakarta kembali diguncang gempa besar akibat letusan Gunung Krakatau yang memicu tsunami 35 meter dan menewaskan 36 ribu jiwa di Jawa bagian barat, dan sebelah selatan Sumatera. Dari catatan-catatan sejarah tadi, Jakarta memang pernah beberapa kali mengalami gempa hebat.
Yang jelas, kata Engkon, ancaman bagi penduduk Jakarta adalah gempa-gempa dangkal yang bersumber dari Jawa Selatan yakni dari arah zona Subduksi (Megathrust) seperti gempa Tasik. Kerentanan Jakarta akan semakin parah bila daerah-daerah tesebut padat penduduk dan bangunan-bangunannya tidak atau kurang memperhatikan aspek bangunan tahan gempa.
Oleh karenanya, Engkon menyarankan agar Jakarta bersiap sebelum bencana tiba, khususnya Jakarta Utara. Pasalnya, di wilayah ini berbagai infrastruktur penting berdiri, dari mulai pelabuhan, kegiatan ekspor impor, transportasi, daerah wisata, sentra-sentra perdagangan juga peninggalan sejarah. ”Sebab, bagaimanapun juga, gempa bumi tidak akan membunuh manusia. Tapi, bangunan roboh lah yang bisa membunuh manusia,” kata Engkon.
berita ini seperti terbaca di vivanews tanggal 22 Nov 2010, smoga kita diberi keselamatan dan ketabahan menerima ujian yang diberikan oleh yang Maha Kuasa.