Golput: Apatisme, Keputusasaan dan Sakit Hati
Fenomena Golput yang disuarakan oleh sebagian kalangan hari ini sebagai bagian dari aktualisasi diri. Di negara demokratis tentu sah-sah saja secara personal, karena dalam kehidupan demokrasi, apalagi di ruang kebebasan yang sebebas-bebasnya, aktulisasi diri dilindungi undang-undang. Tetapi ketika golput menjadi sebuah gerakan massal, tentu perlu dicermati dengan bijak dan cermat. Apa yang melatar belakanginya, dan apa dampaknya bagi bangsa dan umat ini.
Gelombang golput juga sering disuarakan oleh mereka yang merasa sakit hati dengan pihak lain. Kecewa kepada partai, kecewa kepada pemerintah, kecewa kepada anggoda dewan, dan lain-lain. Mereka ini semula sangat aktif dalam pemilihan umum sebagai pemilih atau yang dipilih, namun ketika ada sesuatu yang mengganjal dirinya kemudian diaktualkanlah kekecewaan itu dengan golput.
Ada fenomena golput yang sungguh sangat sulit dipahami dalam alam demokrasi Indonesia sekarang ini. Ketika pemilu tidak lagi memilih gambar partai, tetapi memilih langsung orang yang dipercaya untuk mewakilinya di lembaga-lembaga perwakilan, lalu mengatakan bahwa dari semua calon itu tidak ada yang layak dipilih. Na’udzu billah min dzalik.
Pemilu 2009 di Indonesia kali ini diikuti begitu banyak partai. Jika setiap partai mengajukan lima orang wakilnya di setiap level dewan perwakilan, maka akan terdapat begitu banyak nama berderet yang disajikan untuk dipilih. Bisa jadi di antara nama itu adalah tetangga atau teman sendiri.
ini merupakan diskusi dan kiriman dari Ustadz Muhtar yang sedang S3 diluar Negeri